Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkaji kebijakan BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) yang melarang layanan SMS gratis ke semua operator.
Untuk itu, struktur biaya di setiap operator akan diperiksa untuk mengetahui tujuan SMS gratis tersebut.
“Kita akan segera melakukan kajian tentang SMS gratis itu. Apakah itu sudah mengarah ke predatory pricing (penetapan harga untuk membunuh operator lain) atau cuma promosi,” ujar Wakil Ketua Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) Tresna P Soemardi kepada Jawa Pos kemarin. Dia mengaku, BRTI belum meminta masukan kepada KPPU terkait pelarangan layanan SMS gratis. Padahal hal itu cukup sensitive bagi masyarakat.
Sebelumnya, Ketua BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia), Basuki Yusuf Iskandar mengaku sudah mengirimkan surat kepada seluruh operator untuk tidak lagi menggelar layanan SMS gratis ke semua operator terhitung 31 Desember 2008. Menurut dia, tarif promosi SMS gratis itu berpotensi menyebabkan terjadinya spam (sampah) sehingga bisa mengganggu jaringan telekomunikasi operator lain. Selain itu, tarif gratis tersebut bisa mengganggu kompetisi antar operator seluler.
Menurut Tresna, masalah ini cukup kompleks karena berkaitan dengan tarif interkoneksi, dan cost structur (struktur biaya) masing-masing operator seluler. Oleh karena itu KPPU tidak mau gegabah. Pihaknya akn menyelidiki terlebih dahulu perilaku setiap operator tersebut, apakah mengarah ke predatory price atau promosi. “Kalau memang sudah untung ngapain dia mempertahankan tarif rendah, harusnya kan sesuai biaya yang sebenarnya,” lanjut dia.
Hal itu hampir sama dengan kasus monopoli sektor telekomunikasi yang dilakukan Temasek. Pada waktu itu, menurut Tresna, operator seluler yang dikuasai Temasek mematok tarif terlalu tinggi. Margin dipatok di kisaran 60-70%, padahal dengan margin 30% saja seharusnya sudah untung. “Tentu antar operator berbeda sejarahnya. Oleh karena itu kita akan inisiatif untuk menyelidiki hal ini. Tidak usah nunggu ada yang melapor,” tegasnya.
Bisa saja, menurut Tresna, tarif nol rupiah tersebut dilakukan untuk membunuh usaha operator lain. Sebab, fenomena itu sering terjadi di sektor ritel. Mereka membuat harga serendah mungkin dan baru menaikkan setelah operator lain tumbang (kolaps). Harga terlalu tinggi ataupun harga terlalu rendah memiliki dampak dan tujuan yang berbeda. “Kalau memang Cuma tarif promosi seharusnya meraka kembali ke tarif lama kalau sudah impas,” jelasnya. (JPNN Aka)
*Upeks